Jumat, 17 November 2017

Sejarah Komunitas Wargo Budoyo

Sejarah Komunitas Wargo Budoyo
Dokumen 

Pada zaman generasi tua dusun Gejayan ramai dengan kesenian latar, seperti rodat yang di pimpin oleh Bapak sulastri senen dan kesenian cakar lele yang di pimpin Bapak Tumbar,Kesenian tersebut punah dikarenakan anggota atau pelakunya sudah lanjut usia maka dusun Gejayan setelah generasi tua pasif dan sepi dalam kesenian.

Sekitar tahun 1970 terbentuk kesenian kethoprak Wargo Budoyo yang di kelola oleh Bapak Subari sutomo, namun karena waktu itu tidak banyak yang berminat maka kesenian kethoprak Wargo Budoyo dibubarkan.

Anak-anak kecil usia Sekolah Dasar warga masyarakat Dusun Gejayan pada waktu itu mulai berkumpul dan ingin belajar kesenian Kubro Siswo. Keinginan anak-anak tersebut sangat kuat, akhirnya mereka meminta Suradi untuk melatih kesenian Kubro Siswo. Suradi sebagai sesepuh Dusun Gejayan tidak bisa menolak permintaan anak-anak tersebut, namun Suradi tidak sendiri, beliau ditemani Rebi untuk melatih anak-anak. Setelah berunding ternyata Rebi tidak berkenan melatih kesenian Kubro Siswo melainkan kesenian Soreng. Berdasarkan pernyatan tersebut anak-anak tetap menuruti keputusan Suradi dan Rebi, karena keinginan mereka untuk dapat belajar salah satu kesenian khas Magelang sangat besar.

Untuk melatih anak-anak belajar kesenian Soreng Suradi dan Rebi mempunyai inisiatif untuk memanggil master (pelatih) Beliau merasa ada yang lebih mampu untuk melatih anak-anak di Dusun Gejayan. Dipilihlah Sujak dari Dusun Keditan untuk melatih kesenian Soreng, dan anak-anak sangat cepat menangkap materi.

Setelah melewati beberapa latihan anak-anak semakin semangat untuk dapat mementaskan kesenian tersebut. bagaimanapun Dusun Gejayan harus mempunyai komunitas sebagai wadah untuk berkreasi anak-anak dan memfasilitasinya supaya ke depan dapat lebih berkembang, terutama kesenian rakyat di Dusun Gejayan.artinya Dusun Gejayan membutuhkan seseorang yang dapat memipin komunitas yang akan di resmikam tersebut.

Foto/Festival Lima Gunung XVI
Suradi surjan kembang kiri/Rebi surjan lurik kanan
Sehari penuh Suradi dan Rebi berkeliling dusun dan memasuki dari rumah ke rumah. Hingga larut malam akhirnya Suradi dan Rebi mendatangi rumah Riyadi.Beliau menyampaikan hal yang terjadi, awalnya ditawarkan kepada orang
tua dari Riyadi, pengelola kesenian Kethoprak Wargo Budoyo, namun tampaknya beliau sudah tidak berkenan. Akhirnya Riyadi diputuskan sebagai ketua
komunitas,yang kemudian komunitas tersebut diberi nama Wargo Budoyo.
nama Wargo Budoyo sendiri diambil dari kelompok kethoprak yang dulu ada di dusun Gejayan.
 „Wargo‟ artinya masyarakat dan „Budoyo‟ yang berarti berbudaya, maka Komunitas Wargo Budoyo memiliki arti perkumpulan masyarakat yang berbudaya.
Riyadi
Ketua komunitas Wargo Budoyo

Kepemimpinan Riyadi sekaligus menjadi awal dibentuknya Komunitas Wargo Budoyo tepatnya pada tanggal 28 April 2000.Masyarakat yang tadinya hanya sebagai petani,kemudian mempunyai motivasi untuk bergabung dengan komunitas yang di bangun di dusun Gejayan.

Tawaran pentas datang pertama kali pada bulan Suro di tahun 2001 di Komunitas Tutup Ngisor Lereng Merapi dan untuk pertama kali kelompok Komunitas Wargo Budoyo ikut lomba, yakni Festival Budaya Soreng seKecamatan Pakis
Tak diduga, Komunitas Wargo Budoyo berhasil meraih juara pertama. Setelah itu aktivitas Komunitas Wargo Budoyo semakin berkembang.

Tentu sebuah pementasan seni tari soreng membutuhkan kostum hingga
peralatan rias, karena memang baru di bentuk dan belum mempunyai kostum, keseluruhan perlengkapan pentas itu dipinjami pelatih,dari 80 anggota yang tergabung ini bukanlah sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk pengadaan peralatan dan kostum,iuran anggota pun dirasa tidak bisa menutupi pengadaan kostum, munculah ide dari salah satu anggota untuk gotong royong menyediakan layanan jasa buruh tani,upahnya tentu saja untuk melunasi kostum.


Penampilan kesenian Soreng oleh anak-anak Dusun Gejayan Komunitas Wargo Budoyo di Komunitas Tutup Ngisor lereng Merapi waktu itu tidak mengecewaan. Kejadian tersebut berulang selama tiga kali pada bulan Suro mulai tahun 2001. Berawal dari pementasan tersbut,
Komunitas Wargo Budoyo lebih dikenal oleh masyarakat desa yang lain. Pada kesempaatan itu pula Riyadi bertemu dengan Sutanto.
Komunitas Wargo Budoyo
Pentas di tutup Ngisor 
Menurut Riyadi pertemuan Riyadi dengan Sutanto seperti jodoh. Beliau merasa cocok, karena dapat dibimbing supaya dapat mengembangkan Komunitas Wargo Budoyo sehingga terus berkembang dan bertahan.
Bapak Sutanto merupakan Dosen di ISI Yogyakarta sekaligus tokoh penggerak kesenian di Kabupaten Magelang yang memiliki jaringan kesenian dimana-mana. Berawal dari kesempatan tersebut, Riyadi dikenalkan pada beberapa jaringan Sutanto untuk mendukung perkembangan Komunitas Wargo Budoyo.

Pada tahun 2002 Komunitas Wargo Budoyo turut bergabung dengan
Komunitas Lima Gunung yang diprakarsai oleh Sutanto. Kiprah Sutanto dalam
mengembangkan usaha tersebut disambut positif oleh masyarakat Kabupaten Magelang. Sehingga Festival Lima Gunung, program tahunan yang digagas dari tahun 2002 masih berjalan hingga sampai sekarang. Para seniman dari berbagai kalangan terlibat dalam festival tersebut. Selain anggota Komunitas Lima Gunung yang berasal dari perwaklian desa di tiap gunung masing-masing, seniman yang turut berpartisipasi juga dari kalangan akademisi. Harapan Sutanto dan para
anggota Komunitas Lima Gunung supaya festival tersebut dapat terus berlangsung.

Pada tahun 2009 dibangun Padepokan sebagai salah satu realisasi program Pemukiman dan Tata Ruang Kota (KIMTARO) dengan sasaran Komunitas Lima Gunung dari Dinas Provinsi Jawa Tengah. Komunitas Wargo Budoyo merupakan salah satu anggota Komunitas Lima Gunung yang mendapatkan kesempatan emas tersebut.
Padepokan yang didirikan di Komunitas Wargo Budoyo merupakan pembangunan kedua setelah padepokan yang berdiri di Komunitas Tutup Ngisor di lereng Merapi.
Padepokan wargo Budoyo
Berkat kemimpinan Riyadi Komunitas Wargo Budoyo mengalami perkembangan
baik dari segi manajemen maupun sarana prasarananya. Kegiatan
Komunitas Wargo Budoyo mulai tampak rutin. Jumlah anggota serta pengelolaannya semakin baik. Kegiatan latihan diadakan secara rutin seminggu
sekali setiap sabtu malam, dengan harapan dapat meningkatkan rasa percaya diri dan solidaritas antar anggota Komunitas Wargo Budoyo.

Jumlah anggota Komunitas Wargo Budoyo terdiri dari berbagai lapisan
umur. Bapak-bapak, Ibu-ibu rumah tangga, remaja putra putri Dusun Gejayan
hingga anak-anak Sekolah Dasar dan ada pula yang belum bersekolah. Setiap anggota mempunyai tanggung jawab sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan mereka.

Kiprah Padepokan Wargo Budoyo komunitas Lima Gunung 

Kesenian disini seperti agama, jadi mereka tulus, latihan mben dino siap,  ora beda karo wong sing percaya agama, untuk shalat dan ke masjid setiap hari mereka bahagia nah demikian juga orang sini, akan slalu bahagia saat beraktifitas di dalam kesenian...

Rabu, 25 Oktober 2017

Profil Gejayan



Gapura selamat datang
Gejayan merupakan salah satu dusun dari 21 desa yang ada di Desa Banyusidi Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang. letaknya berada di lereng barat Gunung Merbabu dengan ketinggian 800mdpl. Jumlah penduduknya kurang lebih 400 jiwa terbagi menjadi 140 kk dan dibagi menjadi 8 Rt dan 4 RW, untuk saat ini dipimpin oleh Bapak Sulis prastyo sebagai Kepala Dusun Gejayan.

Nama gejayan diambil dari cikal bakal dusun yaitu Ky onggo joyo dan Nyai onggo joyo serta Ky Joyopuso dan Nyai Joyopuso.Menurut sesepuh dusun kedua cikal bakal itulah yang menjadi pendahulu menetap di dusun tersebut dan diberilah nama Gejayan.

Keseharian masyarakat Dusun Gejayan adalah petani dan juga peternak. Dalam hal pertanian biasanya warga menanam tanaman holtikultura seperti cabai, tomat, kobis, jagung dan tanaman palawija. Selain itu juga tanaman tembakau menjadi komoditas yang tidak kalah menariknya untuk ditanam di tempat tersebut.dibuktikan dengan banyaknya warga masyarakat yang menanamnya. Karena tembakau adalah tanaman musiman dan sudah menjadi kebiasaan dari dahulu,jika pada satu musim tidak menanam tembakau menurut warga sekitar berasa kurang. Untuk hasil komoditas holtikultura kebanyakan mengandalkan tanaman cabai yang bisa menjadi primadona. disebabkan karena harga cabai terkadang menggiurkan untuk kalangan petani yang bisa mencapai 100rb per kilogramnya. Walaupun juga terkadang harga bisa anjlok hingga 2.500 per kilogramnya tetapi warga tetap antusias untuk menanamnya. Dalam hal peternakan sebagian besar mempunyai sapi,juga ada yang mempunyai kambing atau domba. Selain itu ayam, enthok, bebek, burung dan merpati juga bisa ditemukan di dusun ini, karena warga masyarakat yang suka dengan merawat hewan peliharaan.

Udara dingin dan sejuk pada pagi hari akan terasa di dusun ini. Pemandangan yang asri juga akan terlihat memanjakan mata,Gunung Merbabu, Merapi, Sindoro, Sumbing dan Andong nampak didepan mata ditambah munculnya matahari dari ufuk timur menambah suasana menjadi semakin hangat. Setiap pagi masyarakat Gejayan sudah terlihat sibuk dengan persiapan untuk berangkat ke kebun dan mengurus anak ke sekolah. Warung bubur biasanya sudah ramai dengan Ibu-ibu yang mengantri untuk sarapan dirumah. Bukan seperti warung pada umumnya yang berada di ruko ataupun kios mewah, warung berada di rumah sendiri dengan konsep yang sederhana.

Sore hari "sunset" juga tidak kalah menariknya untuk Pemandangan yang ada di Dusun Gejayan.Selain itu juga lampu kelap kelip lampu kota yang membentang dari Magelang-muntilan  juga bisa dilihat dengan cantiknya. Hutan Pinus yang masih asri juga masih bisa kita temukan di dusun ini.
Hutan pinus terjo
Dalam segi pendidikan warga masyarakat mayoritas lulusan SD. Karena warga masih beranggapan bahwa pendidikan yang tinggi toh nantinya akan kembali lagi ke tempat asal dan menjadi petani. Namun untuk sekarang inilah pendidikan di Dusun Gejayan sudah diperhatikan, hal itu dibuktikan dengan dibangunnya Pos PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Pelangi untuk mempersiapkan generasi kedepan lebih mampu bersaing. Selain itu juga banyak anak-anak yang melanjutkan sekolah sampai jenjang SMP, SMA bahkan juga perguruan tinggi. Selain pendidikan formal pendidikan non formal juga menjadi perhatian khusus, salah satunya adalah adanya TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) Al-Hidayah sebagai benteng dalam hal keagamaan sebagai bekal untuk masa depan dan juga kemajuan Dusun Gejayan. Karena mayoritas masyarakat Dusun Gejayan menganut Agama Islam.
Dusun Gejayan sendiri mempunyai 2 masjid untuk beribadah yang diberi nama Masjid Jamiatul Ikhsan dan Masjid Norah. Masjid Jamiyatul Ikhsan dibangun sudah lebih dari 10tahun yang lalu. Awal mula dibangun karena masjid yang dahulu Masjid Al-Hidayah tidak mampu menampung jamaah yang akan melakukan ibadah di masjid tersebut, maka salah satu cara adalah dengan membangun Masjid Jamiatul Ikhsan untuk memecah jamaah agar tetap bisa menjalankan ibadah secara berjamaah. Sedangkan Masjid Norah merupakan hasil pemugaran Masjid Al-Hidayah sebelumnya yang diperluas.
Masjid Norah 
tak hanya bangunan masjid Dusun Gejayan juga mempunyai padepokan yang diperuntukkan untuk pertunjukan kebudayaan. Nama padepokan tersebut adalah Padepokan Wargo Budoyo. Padepokan dibangun atas bantuan dari pemerintah untuk melestarikan kebudayaan yang ada di dusun tersebut dan juga dusun sekitar. Kesenian yang menjadi ciri khas Dusun Gejayan adalah Soreng, Gupolo Gunung, Topeng Ireng dan Geculan Bocah. Kesenian tersebut sudah keliling Nusantara dan juga berkolaborasi dengan seniman terkenal Indonesia maupun mancanegara.

Festival lima Gunung 
Selain pelestarian budaya warga Dusun Gejayan juga masih melestarikan adat istiadat yang ada, seperti genduren selapanan (35hari) setiap hari Kamis Wage, selametan, gombakan (mencukur rambut gembel), rejeban yang biasanya diisi dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dan lainnya.
Selain itu juga ada perayaan budaya setiap tahunnya yang dikenal dengan nama Sungkem Telompak.

Ritual  sungkem telompak 
‌Telompak merupakan tempat sakral yang disucikan oleh warga Dusun Gejayan dan Dusun Keditan. Biasanya Sungkem Telompak dilaksanakan pada tanggal 5 setelah lebaran Idul Fitri setiap tahunnya. Menurut sesepuh dusun bahwa Telompak adalah  tempat sumber  mata air yang digunakan untuk melakukan semedi dan ada cikal bakal yang berada di tempat tersebut yang dikenal dengan mbah Singo Barong
‌Menurut cerita yang ada dari masyarakat dulu dusun keditan mengalami paceklik yang membuat masyarakat tidak bisa menanami lahan pertanian sayurannya, kesulitan air karena kemarau berkepanjangan.
‌Warga percaya bahwa aliran air dari sumber Tlompak itu telah menjadi berkah dari Tuhan bagi kehidupan pertanian setempat

TRADISI NYADRAN DI LERENG MERBABU

Makam cikal Bakal Ky Onggo joyo dan Ny joyo puso Kamis 25 April 2019 kurang lebih pukul 07.00 wib,warga Gejayan Banyusidi Pakis Magelan...